Rabu, 16 November 2016

BANTUAN MATERIAL PEMBANGUNAN MA BAHRUL ULUM PULAU LONGGOS DAN PELATIHAN THIBUN NABAWI

MA BAHRUL ULUM  PULAU LONGOS MANGGARAI BARAT NTT 
JILID II 


Bapak dan ibu, pembaca yang dimuliakan Allah. Kita sambung lagi mengenai Madrasah Aliyah Bahrul Ulum Hidayatullah di pulau Longos.
Sebagaimana yang telah kami sampaikan diawal akan tergeraknya hati kami mengenai keadaan Madrasah Aliyah Bahrul Ulum beserta guru dan murid-muridnya. Kami sampaikan keadaan mereka kepada para muhsinin yang berada di beberapa tempat. Alhamdulillah Allah berikan pertolongan pertama yang diamanahkan lewat kami beberapa bulan setelah kunjungan pertama kami.

Kami berangkat berdua dengan seorang teman yang bernama Ustad Hanif dari Depok Jawa Barat berangkat dari Jakarta, sedangkan kami (Sarjono) Berangkat dari Yogyakarta bertemu dalam 1 pesawat di Bali. Alhamdulillah kami di jemput oleh kepada Madrasah Aliyah Bahrul Ulum yaitu ustad Saharudin (dai Hidayatullah dari Madura) dan Ustad Khairul Anwar.
Pada kunjungan kami yang kedua ini kami membawa bantuan berupa seng, semen, keramik, paku, dan bahan material pembangunan lainnya atas titipan dari para donator. Kami belanjakan titipan tersebut di Labuan Bajo yang kemudian kami angkut menggunakan perahu kecil  dengan ke(ukuran 4 susun) kami berangkat sekitar pukul 17.00 waktu Flores dengan kondisi perahu kelebihan muatan, setelah perjalanan sekitar 1 jam lebih antara pulau Seraya Kecil dan pulau Sebabi, perahu kami diterjang gelombang yang menurut ukuran perahu yang kami naiki adalah gelombang yang besar, sehingga kami dan penumpang lainnya sudah senam jantung dan lumayan menakutnya, akhirnya kami memutuskan balik kanan dan bersandar dulu di Pulau Seraya Kecil. Setelah sholat kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ba’da Sholat Subuh mengingat keadaan gelombang laut saat itu lumayan besar dan resikonya tinggi.



Pengangkutan Material ke perahu di Labuan Bajo
 
Sekitar pukul 22.00 malam, kami dibangunkan dan diajak melanjutkan perjalanan karena katanya luat sudah agak tenang. Tetapi setelah sekitar 15 menit perjalanan, gelombang laut masih lumayan besar walaupun tidak tidak sebesar awal kami berangkat. Walaupun kami takut dan was was sebenarnya sambil terus doa kami tetap melanjutkan perjalanan. Alhamduillah Allah selamatkan kami tiba di pulau Longos sekitar pukul 01.30 dini hari, dan saat kami turun dari perahu di pintu masuk pulau, kami disambut oleh sosok mahluk hitam dan besar dan yang lihat saat itu hanya Ustad Hanif temen kami.
Proses menurunkan bantuan material bangunan di Pulau Longos
Selain membawa bantuan bahan bangunan untuk madrasah, kami juga memberikan pelatihan Thibun Nabawi berupa terapi bekam, Refleksi dan herbal. Alhamdulillah pelatihan tersebut disambut dengan antusias oleh kepada dusun maupun masyarakat. sasaran kami adalah memberikan skill pada para dai disana dan juga masyarakat agar bisa membantu masyarakat dalam hal kesehatan secara herbal, mengingat Rumah sakit maupun Puskesmas jauh dari pulau Longos dan harus menyeberang laut ke pulau flores untuk berobat.
Pelatihan Thibun Nabawi diisi oleh Ustad Hanif, kebetulan beliau adalah pakar thibun nabawi dan punya klinik di daerah Margonda Depok. Adapun pesertanya adalah para guru dan masyarakat laki-laki dan perempuan selama 2 hari. Alhamdulillah pada hari keempat kami di pulau Longos, kami buat Praktek kesehatan bekam, dan refleksi gratis kepada Masyarakat baik laki-laki maupun perempuan.

Begitu pula pembangunan Madrasah Aliyah Bahrul Ulum dimulai dengan menebang pohon-pohon disekitar bangunan untuk untuk keperluan pembangunan madrasah. Begitu pula, batako kami cetak bersama sama pada malam hari agar segera bisa dipasang. Target kami adalah bangunan madrasah itu semi permanen seadanya yang penting sudah bisa di tempati dan lantai segera bisa dipasang keramik. Pembangunan dengan dana minimal itu tetap berlanjut hingga kami pulang pada hari kelima.





Kami masih terus menguatkan tekat agar segera menyusul bantuan lainnya yang bisa Allah titipkan lewat kami untuk tambahan bangunan tersebut. Kami akan berusaha agar bisa kembali lagi ke pulau longos dengan membawa bantuan lagi dengan jalan menyampaikan pada para muhsinin dan mohon pertolongan dari Allah.

Salam Hormat Kami


Sarjono, S.Pd.I, MSI


RIHLAH PERTAMA KE MA BAHRUL ULUM PULAU LONGOS


MA BAHRUL ULUM  PULAU LONGOS MANGGARAI BARAT NTT 
JILID I



Perkenalan kami dengan pulau Longos berawal dari rihlah dakwah kami saat pertama kali di tugaskan oleh ustad kami (Ustad Waris fahrudin)  ke Nusa Tenggara Timur dalam rangka belajar dakwah pada saudara-saudara muslim disana. Berawal dari Kupang, ke Pulau Takera, kemudian ke Maumere Kabupaten Sikka dan lanjut perjalanan darat ke Labuan Bajo Manggarai Barat Pulau Flores. Perjanan darat tersebut mulai dari Maumere pukul 07.00 pagi dan sampai ke Kota Ruteng pukul 20.30 malam dan menginap Masjid Kota Ruteng, Paginya kami melanjutkan perjalanan menuju Labuan bajo berangkat pukul 08.00 pagi dan sampai Labuan Bajo pukul 12.30.

Kami bersama Ust Khairul Anwar (kiri) dai di Longos
Kami menginap di rumah Bapak Kelana Sukarman beliau adalah teman ustad kami. Paginya kami dijemput oleh salah satu guru atau ustad dari pulau Longos, pada awalnya sempat ragu untuk berangkat karena kondisi badan kurang fit setelah perjalanan jauh. Tapi Alhamdulillah Allah ringankan kami untuk berangkat ke pulau Longos. Perjalalanan kami ke pulau Longos untuk mengunjungi teman-teman kami sesama aktifis dakwah di Pulau Longos Kabupaten Manggarai Barat NTT dengan maksud untuk belajar kepada temen-temen dai disana. 
 
Pulau Longos adalah sebuah pulau  di sebelah utara Flores, untuk sampai ke pulau tersebut dari Labuan Bajo bisa ditempuh dengan menggunakan perahu dengan waktu 3-4 jam terantung kecepatan perahu dan gelombang laut. Karena saat itu tidak ada perahu maka kami mengendarai 2 motor dengan membelah pulau Flores yang masih berupa hutan dan pegunungan selama kurang lebih 3 jam sampai di daerah “Terang”, Kemudian dari “Terang” kami melanjutkan perjalanan menggunakan perahu atau sampan yang hanya muat 3 orang untuk menuju pulau Longos, perjalanan tersebut kami tempuh kurang lebih 1 jam perjalanan. Kami sampai di pulau Longos mendekati waktu magrib. Perlu diketahui di pulau Longos wilayahnya masih berupa hutan dan belum ada listrik.
Keadaan Ruangan Kelas
Temen-teman aktifis dakwah di pulau Longos sedang merintis sebuah Madrasah Aliyah yang  bernama “Bahrul Ulum”. Sekolah tersebut didirikan sebagai sarana dakwah dan juga sebagai sarana untuk menyelamatkan pendidikan generasi penerus bangsa yang hidup jauh di pulau-pulau, jauh dari sekolahan,jauh dari kota dan juga mereka banyak yang tidak mampu secara ekonomi untuk sekolah ke kota yang jaraknya sangat jauh dari pulau yang mereka huni.
Keadaan Bangunan Madrasah


Madrasah Aliyah “Bahrul Ulum” ini saat itu mempunyai 31 siswa yang datang dari pulau-pulau. Di MA Bahrul Ulum tersebut di ajar oleh 10 dai/guru yang bertugas mengajar pendidikan sekolah maupun mengaji, para dai/guru ini mengajar dengan niat Lillahi Ta’ala. Mereka rela berkeliling disekitar pulau untuk memperkenalkan sekolah rintisan tersebut kepada masyarakat agar anak-anak mereka mau sekolah walaupun tidak ada biaya. Tentunya itu juga menambah beban para dai, akan tetapi Alhamdulillah walaupun diatas kekurangan dan keterbatasan mereka secara ekonomi, mereka masih tetap istiqomah untuk mengajar demi mendidik anak-anak agar menjadi generasi penerus yang cerdas secara intelektual, spiritual dan aksinya dengan bimbingan ajaran Islam.
Para siswa yang sekolah di MA tersebut mereka tidak dibebani dengan uang SPP dan sebagainya, sekolah baru menarik biaya dari siswa ketika baru keadaan sangat membutuhkan itupun dalam jumlah yang tidak seberapa mengingat keadaan orang tua mereka yang juga miskin. Selain itu bagi siswa-siswi yang mau menginap di sediakan asrama putra dan putri sekaligus diajari pelajaran seperti pesantren. Akan tetapi asrama putra tersebut jadi satu dengan asrama ustad dan begitu juga asrama putri, dan keadaanya juga sangat butuh perhatian.
Asrama ustad dan siswa yang menginap
Ketika kami melihat keadaan madrasah saat itu, bangunan sekolah hanya berkerangka kayu, berdinding seng keliling dan beratap seng, kemudian lantai sekolah berupa tanah berkerikil keadaan tempat bangku sekolah berupa kursi plastic dan sebagian besar patah bahkan sebagian lainnya juga pinjaman, kemudian meja yang dipakai adalah meja reyot yang mungkin kalau di tempat kita sudah tidak dipakai. Akan tetapi keadaan ini tidak menyurutkan semangat para dai dan siswa-siswi untuk belajar, untuk sekolah. Kami sungguh heran dan seakan tidak percaya dengan keadaan yang kami lihat ini, betapa mereka berjuang demi pendidikan untuk generasi Islam ke depan yang lebih baik.


Asrama Ustadzah dan Siswi yang menginap
Kunjungan kami tidak genap sehari semalam karena setelah mengisi motivasi untuk para dai dan siswa-siswi, karena pukul 10.00 pagi kami harus pulang. Akan tetapi kunjungan singkat inilah yang kemudian menggerakkan hati kami, bagaimana kami bisa membantu saudara-saudara muslim di pulau Longos agar mempunyai fasilitas pendidikan yang layak. 

  Apa yang saya jumpai di pulau Longos akan kami share kepada saudara-saudara muslim yang lainnya, harapan kami ada yang mau peduli dan mau ikut membantu saudara-saudara kita di pulau Longos Setelah saya pulang ke Gunungkidul Yogyakarta.


Salam Hormat Kami


Sarjono, S.Pd.I, MSI

Senin, 14 November 2016

‘Mengintip’ Sarjono dan Meja Reyot di Pulau Longos


Siswi MA Bahrul Ulum Pulau Longos Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur
Hidayatullah.com- Sarjono tampak gelisah. Bagaimana tidak? Tahun ajaran baru sudah dimulai tapi, ia belum juga dapat dana bantuan pembuatan bangku kelas untuk Madrasah Aliyah (MA) Bahrul Ulum di Pulau Longos, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kisah Sarjono ini berawal saat ia berkunjung ke pulau Longos 2014 lalu. Ia prihatin melihat keadaan madrasah yang sebetulnya tak layak pakai. Bangunan kelas ala kadarnya dengan tiang-tiang penyangga tak berdinding dan hanya beratapkan seng. “Lantainya juga masih tanah,” kata Sarjono.

Selain itu, ada yang lebih menyayat hatinya, saat ia melihat anak-anak duduk di atas kursi plastik yang mau patah. Di hadapan mereka, tampak beberapa meja lusuh yang mulai reyot.

Pulau Longos terletak di sebelah utara Pulau Flores, NTT. Terdiri dari 3 dusun yaitu Kampung Mangge yang dihuni sebanyak 72 Kepala Keluarga (KK), Kampung Baru dihuni sebanyak 67 KK dan Kampung Bajo sebanyak 256 KK. Jumlah total penduduknya kurang lebih sekitar 1.300 jiwa. Pulau tersebut bisa dibilang daerah terbelakang, sebab di sana belum ada listrik sama sekali.

“Untuk memenuhi kebutuhan penerangan, tak urung masyarakat menggunakan tenaga surya atau mesin genset. Itupun bagi (warga) yang berduit,” Sarjono prihatin.

Menurutnya, MA Bahrul Ulum sangat dibutuhkan masyarakat di Pulau Longos dan sekitarnya. Warga sangat antusias dengan keberadaan sekolah itu, meski keadaannya masih jauh dari kata standar sebuah sekolah. Selain itu, MA Bahrul Ulum merupakan satu-satunya sekolah tingkat SMA di Pulau Longos.
Ia menambahkan, kalau pun warga tak ingin anaknya sekolah di MA Bahrul Ulum, sebetulnya ada SMA lain di Labuan Bajo. “Tapi, untuk sampai ke sana (Labuan Bajo), masyarakat harus menempuh perjalanan 3 jam lebih dulu dengan perahu,” jelas Sarjono kepada hidayatullah.com, belum lama ini.

Selama ini, pihak sekolah (MA Bahrul Ulum) tak pernah memungut biaya pendidikan kepada para murid. Sebab, kondisi perekonomian warga di sana cukup sulit. Bahkan, sembilan guru yang mengajar juga tak pernah digaji. Kata Sarjono, pihak sekolah belum mampu memberikan gaji layak sebagaimana guru tetap di sekolah negeri.

Alhamdulillah, Sarjono bersyukur, meksi dengan kondisi yang serba apa adanya itu, kini, MA Bahrul Ulum memiliki murid sebanyak 64 orang. Rincinya, untuk murid kelas 3 sebanyak 19 orang, kelas 2 sebanyak 13 orang serta kelas 1 yang baru masuk sebanyak 32 orang.

Sarjono sendiri adalah seorang dai yang aktif berdakwah di Gunung Kidul dan Manggarai Barat. Selain memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga, ia juga harus mencarikan insentif untuk 32 dai setiap bulannya, termasuk juga sembilan guru MA Bahrul Ulum. “Jumlahnya nggak banyak, mungkin cukup untuk biaya transport dan beli sabun. Masing-masing bisa 150 ribu sampai 200 ribu,” Sarjono menjelaskan.

“Sebetulnya masih banyak sekali dai yang berjuang di pelosok daerah (minoritas Muslim) tanpa dapat bantuan baik dari pemerintah ataupun lembaga sosial lainnya. Sekalipun sekadar untuk ganti bensin atau beli sabun seperti itu. Mereka seringkali merogoh gocek sendiri di tengah sulitnya ekonomi yang menghimpit keluarga,” ungkapnya.

Sejak 14 juni 2016 kemarin, atas bantuan dari para donatur dan simpatisan, Alhamdulillah, Sarjono telah selesai membangun ruang kelas sederhana serta membuat 30 buah meja siap pakai. Tapi, bangkunya belum ada karena dana sudah habis. Sehingga, katanya, MA Bahrul Ulum sangat membutuhkan bangku kelas sebanyak 30 buah. “Ini kebutuhan sangat mendesak yang harus segera saya penuhi,” Sarjono resah.

Sebab itu, barangkali ada pembaca yang berkenan ingin membantu biaya pembuatan bangku kelas untuk anak-anak MA Bahrul Ulum di Pulau Longos atau kegiatan dakwah Sarjono di Gunung Kidul dan Manggarai Barat. Silahkan bisa menghubungi Sarjono di nomor berikut 085741152955. Jazakumullah khairan.*

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Sumber: hidayatullah.com
http://m.hidayatullah.com/feature/mereka-memilih-berani/read/2016/07/23/98119/mengintip-sahar-dan-meja-reyot-di-pulau-longos.html

Menghadapi Suhu Dingin dan “Ancaman” Pemurtadan

Tahun 2010 masyarakat di sini hampir semua murtad (berpindah agama). Dari 48 KK waktu itu, hanya empat yang masih bertahan pada agama Islam

 

HAWA dingin sangat terasa di lereng Gunung Marbabu. Dinginnya suhu mencapai 19 derajat celsius. Menjelang shalat Isya’  kabut mulai turun mengunjungi ruang-ruang warga. Situasi seperti ini membuat warga yang hendak shalat di harus menggunakan jaket super tebal guna menahan rasa dingin.

“Malam hari di desa ini hawanya dingin sekali,” ujar Ustad Sarjono, da’i pesantren Masyarakat Merapi Merbabu yang hari-harinya dihabiskan berdakwah di dusun nan sunyi, cocok dengan nama kampungnya, Desa Sepi, Kecamatan Seloe, Boyolali.

Di dusun ini hanya ada sebuah masjid. Itupun kurang terurus dengan baik.  Menurut Sarjono, lebih kurang setahun ini nyaris tidak ada kegiatan.

“Aktivitas  dakwah di dusun yang terletak di lereng Merbabu dan Merapi ini sudah lama mati, bahkan dakwah sempat sirna seiring dengan meningkatnya kegiatan misionaris. Masjid Al Ikhlas  sudah lama vakum tidak  ada kegiatan ibadah, Alhamdulillah sejak dua bulan lalu para da’i sering mengunjungi dusun ini dan kembali menghidupkan kegiatan masjid,” ujarnya.

Keluar dari Islam

Dari informasi sesepuh masyarakat , pasca erupsi hebat gunung merapi  yang  mengakibatkan warganya Desa Sepi, Kecamatan Seloe, Boyolali mengungsi. Tak hanya ditinggalkan para penduduknya, di tempat ini juga melahirkan cerita kelam. Di mana banyak penduduk setelah musibah itu berpindah agama.

“Pada tahun 2010 lalu, masyarakat di sini hampir semua murtad, berpindah agama,” ungkar Sarjono. Dari 48  KK waktu itu, hanya empat yang masih bertahan pada agama Islam.

Pasca musibah erupsi gunu Merapi, kelompok-kelompok misionaris masuk  melalui bantuan kemanudiaan. Mereka menawarkan pertolongan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan. “Mereka datang memberi bantuan sekaligus penawaran untuk berpindah agama kepada masyarakat,” ujar Sarjono.

Bahkan untuk mempertahankan masyarakat agar terus memeluk agama pendatang itu, mereka langsung membangun  dua pusat peribadatan.

“Di sini sudah ada dua gereja, dan akan tambah lagi,” tutur Sarjono.

Bukan hanya membangun fisik rumah Ibadah, tapi juga mengirim penyiar agama untuk memberi  pembahaman pada masyarakat.

Menurut Sarjono, keadaan ini rupanya lebih mudah bagi mereka. Maklum, masyarakat yang mayoritas petani sayur ini sebelumnya masih kental dengan ritual-ritual Kejawen dan hal-hal berbau mistis dan syirik.

Bahkan meski mengaku beragama Islam, mereka lebih mengutamakan ritual Kejawen daripada melakukan ibadah wajibnya dalam Islam,”  ujar Sarjono.

Namun pasca banyaknya kunjungan para dai, dua bulan ini suasa warga penduduk Sepi nyaris berubah. Satu-persatu penduduk yang dulunya murtad kini kembali merengkuh hidayah. Masyarakat Muslim telah kembali menjadi mayoritas di desa ini, sisanya tinggal 7 KK masih mengikuti agama baru.

Ramadhan di Desa Sepi masih tetap berlangsung semarak, meskipun harus melawan hawa dingin yang menusuk tulang. Masyarakat menyambut bulan istimewa ini dengan antusias.
Shalat tarawih selalu dipadati kaum Muslimin. Mereka datang  memenuhi  ruangan masjid meski pembangunannya belum jadi. 

Minim Sarana Ibadah

Di Desa Sepi telah berdiri masjid sumbangan masyarakat Muslim, namun hingga kini pembangunanya belum tuntas seratus persen. Satu yang sangat diperlukan warga Muslim adalah keberadaan tempat wudhu, WC dan kamar mandi.

“Di sini belum ada tempat wudhu, jadi kalau mau bersuci harus berjalan beberapa ratus meter dulu baru mendapatkan air,” ungkap Sarjono.

Di bulan penuh berkah ini, Sarjono berharap ada sebagian kaum Muslim sempat mengulurkan tangannya.

“Semoga ada di antara saudara kami bisa ikut meraih pahala dengan ikut andil dalam syiar ini, “ ujar Ustad Sarjono sembari memberi nomor kontaknya 085741152955.*/Samsul Bahri

Rep: -
Editor: Cholis Akbar

Sumber:
Hidayatullah.com
http://www.hidayatullah.com/ramadhan/syiar-ramadhan/read/2013/07/20/5573/menghadapi-suhu-dingin-dan-ancaman-pemurtadan.html

Pos Dai
http://posdai.com/menghadapi-suhu-dingin-dan-ancaman-pemurtadan/

Ramadhan, Masjid Di Gunung Kidul Kesulitan Air



Hidayatullah.com–Kabupaten Gunung Kidul mulai dilanda kekeringan. Tidak hanya sawah yang kering kerontang, masjid pun juga kesulitan air. Untuk kebutuhan air wudlu, masjid-masjid itu terpaksa mendatangkan tangki air.

Demikian penuturan Sarjana, dai di Gunung Kidul yang banyak membantu mengirim air untuk masjid-masjid tersebut. Daerah yang paling parah, kata Sarjana, ada di Gunung Kidul selatan. Terutama Kecamatan Girisubo, Rongkop, Tepus dan Tanjungsari.

Gunung Kidul memang dikenal daerah langganan kekeringan. Daerah ini mengandalan air hujan untuk pertanian. Tak heran bila hasil pertanian yang  utama dari kabupaten yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta ini adalah polowijo.

Tidak hanya pertanian yang mengandalkan air hujan. Masjid-masjid juga begitu. Air hujan itu ditampung di bak-bak penampungan, selanjutnya disalurkan untuk air wudlu. Karena hujan sudah lama tak turun, bak-bak itu kini kering. Di sisi lain, kebutuhan terhadap air tak bisa ditunda.

“Jalan satu-satunya beli air tangki dari Wonosari,” kata Sarjana.

Persoalannya, kata dai yang sudah bertahun-tahun berdakwah di Gunung Kidul ini, kas masjid kini sudah terkuras untuk beli air. Karena itu, Sarjana berharap, ada dermawan yang berkenan membantu agar umat Islam di Gunung Kidul bisa menjalankan ibadahnya dengan baik.

“Satu tangki harganya Rp 150 ribu,” kata Sarjana.*/Bambang 

No kontak Sarjana 085292428473 dan 085741152955

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Sumber: Hidayatullah.com
http://m.hidayatullah.com/berita/berita-dari-anda/read/2012/07/30/61189/ramadhan-masjid-di-gunung-kidul-kesulitan-air.html

Krisis Air, Jamaah Shalat di Gunung Kidul Kesulitan Wudhu




Hidayatullah.com–Akibat kemarau panjang, warga di Kabupaten Gunung Kidul kini mengalami krisis air. Daerah yang paling parah terkena dampak krisis air adalah, Desa Tepus , Tanjung Sari, sebelah timur Girisubo dan Rongkop sebelah selatan.

“Masjid dan rumah-rumah di sini kekeringan air, kami mendapati masjid yang jamaahnya gak bisa berwudhu karena masjid tidak punya air,” ujar Ustad Sarjono, seorang da’i di Gunung Kidul.
Menurut Sarjono,  krisis air yang melanda masyarakat Gunung Kidul telah memaksa masyarakat miskin untuk menjual ternak mereka untuk membeli air.

“Kalau orang kaya mereka beli air,  karena ada pihak swasta yg berbisnis air di sini, nah kalau mereka yang nggak mampu  sampai menjual ternak dulu baru bisa beli air,” tutur  Sarjono.
Menurut Sarjono, harga air di daerah Gunung Kidul  mencapai  Rp. 150.000,-per tangki bervolume 5000 liter.

Sarjono bahkan pernah menerima telpon dari pengurus masjid di daerah Gunung Kidul meminta bantuannya  untuk mengirim air ke masjid, karena masjid sudah sampai utang untuk membeli air untuk wudhu jamaahnya.

“Saya kaget dapat telpon dari takmir masjid bahwa mereka hutang  membeli air untuk wudhu jamaah ketika sholat, dan meminta saya untuk mengirim air ke masjidnya,” ucap Sarjono.

Baru-baru ini,  Sarjono dan para relawan mengirim sebanyak 46 tangki air bersih kepada masjid dan rumah warga tak mampu di Gunung Kidul.

“Kami baru saja membantu masjid dan warga miskin sebanyak 46 tangki, dana bantuan air ini dari donatur,”ungkap Sarjono.

Bagi kaum Muslimin yang ingin membantu krisis air di Gunung Kidul bisa menghubungi Ustad Sarjono, 085741152955.*

Rep: Samsul Bahri
Editor: Cholis Akbar

Sumber: Hidayatullah.com
http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2013/10/09/6750/krisis-air-jamaah-shalat-di-gunung-kidul-kesulitan-wudhu.html

Dai Gunung Kidul Butuh Perhatian

SARJONO mulai gelisah. Bulan sudah mau habis, tapi kantongnya masih ‘kering’. Padahal awal Juni, ia mesti menggaji para dai di Gunung Kidul, DIY.

Sejak beberapa bulan lalu, ia memang mengumpulkan orang-orang yang punya kepedulian kepada agamanya, Islam.  Ia mengajak mereka bergerak membina umat. ‘Karena keadaan Gunung Kidul sudah kritis,” kata Sarjono, yang sudah lama berdakwah di Gunung Kidul ini.

Gunung Kidul dikenal sebagai salah satu daerah miskin di DIY. Karena kemiskinan itulah daerah ini menjadi sasaran empuk Kristenisasi. “Sudah banyak umat Islam yang berhasil mereka murtadkan,” kata Sarjono.

Untuk membendung Kristenisasi itulah, ia mengajak rekan-rekannya bergerak. Salah satu program mereka adalah menghidupkan majelis taklim dan Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ).

“Alhamdulillah, mereka sekarang sudah bergerak,” kata Sarjono.
Problemnya adalah dana. Untuk bergerak itu tentu mereka perlu ‘bensin’, sekalipun sejak awal mereka tidak pernah bicara soal honor. Tetapi Sarjono kasihan, karena mereka hampir semuanya hidup dengan ekonomi pas-pasan.

Salah satu contohnya Suhardi. “Dia tiap hari bekerja mencari barang bekas,” kata Sarjono. Barang itu kemudian dia jual dan hasilnya untuk menghidupi dirinya dan neneknya yang sudah renta.
Sekalipun hidupnya pas-pasan,  Suhardi rela menyisihkan sebagian waktunya untuk mengajar di TPQ tanpa digaji. “Tiap hari waktu sore ia mengajar di TPQ dari dusun ke dusun,” jelas Sarjono.

Untuk membantu gerak para dai itu, Sarjono berusaha memberi uang transpot tiap bulan. “Besarnya beda-beda, ada yang 100 ribu dan ada pula yang 150 ribu, tergantung uang yang ada,” jelas Sarjono.
Karena Sarjono sendiri hidupnya juga pas-pasan, tiap bulan ia mesti pontang-pontang mencari uang transpot para dai itu. Barangkali ada pembaca yang berkenan membantu dakwah di Gunung Kidul, silakan hubungi Sarjono 085741152955. Jazakumullah khaira katsira.*

Rep: Bambang S
Editor: Cholis Akbar

Sumber: hidayatullah.com
http://m.hidayatullah.com/feature/mereka-memilih-berani/read/2014/05/25/22112/dai-gunung-kidul-butuh-perhatian.html