Siswi MA Bahrul Ulum Pulau Longos Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur |
Kisah Sarjono ini berawal saat ia berkunjung ke pulau Longos 2014 lalu. Ia prihatin melihat keadaan madrasah yang sebetulnya tak layak pakai. Bangunan kelas ala kadarnya dengan tiang-tiang penyangga tak berdinding dan hanya beratapkan seng. “Lantainya juga masih tanah,” kata Sarjono.
Selain itu, ada yang lebih menyayat hatinya, saat ia melihat anak-anak duduk di atas kursi plastik yang mau patah. Di hadapan mereka, tampak beberapa meja lusuh yang mulai reyot.
Pulau Longos terletak di sebelah utara Pulau Flores, NTT. Terdiri dari 3 dusun yaitu Kampung Mangge yang dihuni sebanyak 72 Kepala Keluarga (KK), Kampung Baru dihuni sebanyak 67 KK dan Kampung Bajo sebanyak 256 KK. Jumlah total penduduknya kurang lebih sekitar 1.300 jiwa. Pulau tersebut bisa dibilang daerah terbelakang, sebab di sana belum ada listrik sama sekali.
“Untuk memenuhi kebutuhan penerangan, tak urung masyarakat menggunakan tenaga surya atau mesin genset. Itupun bagi (warga) yang berduit,” Sarjono prihatin.
Menurutnya, MA Bahrul Ulum sangat dibutuhkan masyarakat di Pulau Longos dan sekitarnya. Warga sangat antusias dengan keberadaan sekolah itu, meski keadaannya masih jauh dari kata standar sebuah sekolah. Selain itu, MA Bahrul Ulum merupakan satu-satunya sekolah tingkat SMA di Pulau Longos.
Ia menambahkan, kalau pun warga tak ingin anaknya sekolah di MA Bahrul Ulum, sebetulnya ada SMA lain di Labuan Bajo. “Tapi, untuk sampai ke sana (Labuan Bajo), masyarakat harus menempuh perjalanan 3 jam lebih dulu dengan perahu,” jelas Sarjono kepada hidayatullah.com, belum lama ini.
Selama ini, pihak sekolah (MA Bahrul Ulum) tak pernah memungut biaya pendidikan kepada para murid. Sebab, kondisi perekonomian warga di sana cukup sulit. Bahkan, sembilan guru yang mengajar juga tak pernah digaji. Kata Sarjono, pihak sekolah belum mampu memberikan gaji layak sebagaimana guru tetap di sekolah negeri.
Alhamdulillah, Sarjono bersyukur, meksi dengan kondisi yang serba apa adanya itu, kini, MA Bahrul Ulum memiliki murid sebanyak 64 orang. Rincinya, untuk murid kelas 3 sebanyak 19 orang, kelas 2 sebanyak 13 orang serta kelas 1 yang baru masuk sebanyak 32 orang.
Sarjono sendiri adalah seorang dai yang aktif berdakwah di Gunung Kidul dan Manggarai Barat. Selain memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga, ia juga harus mencarikan insentif untuk 32 dai setiap bulannya, termasuk juga sembilan guru MA Bahrul Ulum. “Jumlahnya nggak banyak, mungkin cukup untuk biaya transport dan beli sabun. Masing-masing bisa 150 ribu sampai 200 ribu,” Sarjono menjelaskan.
“Sebetulnya masih banyak sekali dai yang berjuang di pelosok daerah (minoritas Muslim) tanpa dapat bantuan baik dari pemerintah ataupun lembaga sosial lainnya. Sekalipun sekadar untuk ganti bensin atau beli sabun seperti itu. Mereka seringkali merogoh gocek sendiri di tengah sulitnya ekonomi yang menghimpit keluarga,” ungkapnya.
Sejak 14 juni 2016 kemarin, atas bantuan dari para donatur dan simpatisan, Alhamdulillah, Sarjono telah selesai membangun ruang kelas sederhana serta membuat 30 buah meja siap pakai. Tapi, bangkunya belum ada karena dana sudah habis. Sehingga, katanya, MA Bahrul Ulum sangat membutuhkan bangku kelas sebanyak 30 buah. “Ini kebutuhan sangat mendesak yang harus segera saya penuhi,” Sarjono resah.
Sebab itu, barangkali ada pembaca yang berkenan ingin membantu biaya pembuatan bangku kelas untuk anak-anak MA Bahrul Ulum di Pulau Longos atau kegiatan dakwah Sarjono di Gunung Kidul dan Manggarai Barat. Silahkan bisa menghubungi Sarjono di nomor berikut 085741152955. Jazakumullah khairan.*
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Sumber: hidayatullah.com
http://m.hidayatullah.com/feature/mereka-memilih-berani/read/2016/07/23/98119/mengintip-sahar-dan-meja-reyot-di-pulau-longos.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar